v Undang-undang sebagai jenis control social.
Kontrol sosial adalah penyesusaian diri atau masyarakat secara luas terhadap peraturan yang telah ada baik formal maupun informal untuk mencegah kita dari prilaku-prilaku menyimpang.
· Kontrol sosial informal terdiri dari keluarga, kelompok peertemanan,greja, lingkungan tetangga dan lain sebagainya.
· Kontrol sosial formal terdiri dari undang-andang dan peradilan criminal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang secara resmi di umumkan dan di tegakan oleh badan-badan berwenang.
Dari diagram di atas maka dapat diketahui bahwa sistem-sistem yang ada didalam suatu kontrol sosial memiliki keterkaitan antara sistem yang satu dengan sistem yang lainnya dengan masing-masing fungsi dari sistem tersebut untuk membentuk suatu control sosial yang baik yang dapat mengontrol prilaku masyarakat atau warga negara.
Donald Black (1976) berhipotesis tentang adanya hubungan antara dua bentuk control sosial tersebut bahwa :
Undang-undang lebih kuat dimana control sosial lain lebih lemah, Undang-undang berubah-ubah secara berkebalikan dengan control sosial lain.
Jadi Undang-undang berubah-ubah selama berabad-abad dan terus berkembaang ketika jenis control sosial lain mati, tidak hanya dalam keluarga tetapi juga dalam desa, greja, tempat kerja, dan lingkungan tetangga.
Sebagai contoh : Ketika banyaknya pendatang yang masuk disuatu daerah atau kota kemudian dengan bercampurnya segala aspek seperti budaya, ras, adat dan lainnya membuat suatu control sosial yang ada di dalamnya atau daerah tersebut menjadi lemah karena aturan-aturan yang ada sebelumnya tidak dapat di terapkan atau berlaku secara umum untuk melingkupi masyarakat pendatang tersebut. Ketika control sosial tersebut mati maka jelas prilaku masyarakatpun tidak terkontrol maka terdapatlah banyak penyimpangan-penyimpangan prilaku pada masyarakat tersebut, maka Undang-undangpun memberikan terobosan baru dengan membuat aturan baru atau pun perubahan peraturan dengan tujuan untuk dapat melingkupi keseluruhan dari masyarakat yang ada pada daerah tersebut danjuga negara secara keseluruhan.
Ø Ada dua macam prespektif pembuatan Undang-undang.
· Memandang Undang-undang sebagai pengembangan konsensus normatif yang luas dalam masyarakat dan mencerminkan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
· Memandang Undang-undang sebagai produk sebuah konflik antara kepentingan kelompok dan pelaksanaan kekuasan dalam masyarakat.
v Konseensus dan teori fungsionalis.
Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi) adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan digunakan dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Sehingga seseorang dapat dikatakan penjahat karena dasar-dasar konsensus dan mengancam stabilitas sosial secara kesseluruhan.
Emile Durkheim (1964[1893]) berteori bahwa isi dan sifat umum Undang-undang tumbuh dari semacam “solidaritas” yang mencirikan masyarakat tersebut.
Jadi Undang-undang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan terbentuk dari prilaku masyarakat itu sendiri ketika masyarakat melakukan tindakan-tindakan penyimpangan maka lahirlah aturan-aturan perundang-undangan tersebut untuk dapat mengontrol prilaku menyimpang yang ditimbulkan oleh masyarakat tersebut. Maka wajar ketika disuatu daerah atau negara yang masyarakatnya terdapat banyak penyimpangan maka Undang-undangnyapun banyak mengalami perubahan maupun penambahan.
Menurut Sumner (1906) bahwa pembuatan Undang-undang tidak dapat mengubah adat-istiadat dengan cepat dan mudah dan bahwa semua hukum mengalir secara langsung dari adat-istiadat atau bahwa hukum tidak dapat memasukan perubahan sosial manapun.
Jadi Undang-undang yang di buat tidak dapat berpengaruh secara langsung terhadap adat-istiadat maupun kebiasaan yang telah ada di dalam masyarakat, namun Undang-undang dapat mengikat setiap anggota dari masyarakat dengan aturan-aturan yang bersifat normatif sehingga tetap dapat mengontrol masyarakat secara umum dan luas.
Teori fungsionalis
Teori ini memandang hukum berfungsi untuk mensejahterakan public yang lebih besar dengan penyelesaian perselisihan secara tertib mengatur pelaku yang kacau dan mengendalikan kejahatan dan hukum melayani kepentingan ssetiap orang dalam masyarakat dan bukan hanya kepentingan khusus kelompok-kelompok tertentu.
v Teori Konflik
Konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
George Vold berpendapat bahwa pada hakikatnya setiap orang mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong kepentingan mereka ini dalam arena politik.
Ide Vold adalah bahwa berbagai kelompok mempunyai berbagai kepentingan dan sering kali bertentangan sehingga dapat menimbulkan konflik. Ketika kelompok mempunyai kepentingan yang sama maka konflik dapat terselesaikan melalaui kompromi yang member stabilitas kepada sebuah masyarakat.
Ketika kelompok mempunyai kekuatan yang berbeda, satu kelompok dapat menang dengan kekuatan penuh dari negara untuk melaksanakan kepentingan kelompok itu.
Ketika hal tersebut melibatkan hukum pidana maka kelompok dominan mendukung polisi, pengacara dan pengadilan guna melindungi kepentingannya untuk menghadapi kelompok yang secara politis lebih lemah. Dan kelompok yang kalah biasanya terperosok pada sisi yang salah dari hukum itu.
Austin Turk (1964;1969a) mengatakan bahwa hukum adalah hasil dari, sekaligus senjata yang digunakan dalam konflik kelompok.
Jadi peraturan perundang-undangan itu di buat dan disetujui oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan yang kemudian menjadikan senjata maupun tameng untuk melidungi kelompok tersebut dengan membuat aturan seperti hal-hal apa yang dapat di hukum ataupun dapat dikenakan sanksi. Sedangkan hal-hal yang akan merugikan bagi kelompok tersebut tidak di buat sehingga mereka mendapatkan yang mereka inginkan dalam hukum, ekonomi dan masyarakat.
Kemudian ada teori yang mengembangkan model konflik pluralistik yang dikemukakan oleh Mc Garrell dan Castelano (1991) yang membaginya pada tiga tingkatan:
1. Konflik-konflik sosio-struktural mendasar yang dihasilkan dari heterogenitas dan ketidakadilan dan konflik cultural simbolik dalam persepsi publik dan “mitos” tentang kejahatan.
2. Angka pengorbanan, ketakutan terhadap kejahatan, dan tuntutan public untuk penghukuman terhadap penjahat.
3. Kejadian-kejadian baru dan aktivitas-aktivitas yang memicu tindak legislatif untuk mengubah kebijakan, seperti berita-berita media tentang masalah-masalah kejahatan, aktivitas-aktivitas kelompok kepentingan, kampanye pembaharuan dan peristiwa politik.
Model konflik pluralistik berlaku bagi masyarakat demokratis, dengan adanya pluralistik ini dari tiga pembagian yang di kemukan oleh Mc Garrell dan Castellano tersebut maka dapat kita ketahui bahwa pembuatan Undang-undang maupun kekuasaaan yang ada dalam suatu negara tersebut dapat di pengaruhi oleh golongan-golongan penekan sehingga kekuasaan yang ada dalam suatu negara tidak di pegang penuh oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Ø Golongan penekan tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan tujuaannya yaitu:
1. Golongan penekan politis yang terorganisir yang bermaksud mencari perlindungan terhadap nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan pribadi dengan pembuatan Undang-undang dan mencoba mempengaruhi tindakan penjabat dan birokrat pemerintah dalam menjalankan hukum.
2. Golongan penekan terorganisir yang berskala besar (LSM, Masyarakata luas, Suku, Ras, dan lainnya) yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah dengan maksud mengendalikan prilaku masyarakat dengan demikian kelompok ini menginginkan cerminan hidup bermasyarakat yang baik.
Dengan demikian dapat kita lihat kedua kelompok golongan tersebut memiliki tujuan yang sama terhadap pemerintahan namun beerbeda dalam maksud yang ingin di capai dari setiap masing-masing kelompok.
v Teori Pelabelan
Pelabelan adalah pemberian etiket atau pandangan masyarakat terhadap seseorang yang melakukan penyimpangan dengan penistaan baginya.
Ø Teori ini memperlihatkan pada dua label variable yaitu :
1. Melihat label sebagai variable bebas ketika berhipotesis bahwa label-label pencemaran menyebabkan kelanjutan pelaku criminal atau pelanggaran.
2. Melihat label sebagai variable tidak bebas ketika berusaha menjelaskan mengapa orang-orang dan atau kelakuan tertentu dipilih untuk penistaan dan kriminalisasi.
Dalam bab ini penjelasan tentang teori pelabelan hanya pada label-label criminal dan pelanggaran sebagai variable tidak bebas.
Suatu prilaku tertentu diberikan pelabelan untuk penistaan. Ini di berikan kepada kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasaan oleh kelompok-kelompok atau badan pengawas yang bekerja atas nama kekuasaan. Ini mengungkapkan bahwa orang-orang yang di cap dengan label-label penistaan lebih di tentukan dari siapa diri mereka dari pada apa yang mereka lakukan.
Hubungan teori ini dengan teori konflik adalah memiliki teori pembuatan dan penegakan Undang-undang criminal yang sama namun berbeda dari sudut pandang atau dalam cara menjelaskan prilaku criminal.